Sabtu, 02 Agustus 2014

Aku Mencintaimu dalam Gulita


Yusuf:
Namamu adalah malam. Layla. Namamu pernah ditulis oleh pujangga kelas dunia sebagai seorang gadis jelita yang dimabuk cinta kepada kekasihnya; Qais. Namun sayang, aku bukan Qais yang mampu melihat pesona Layla yang memikat dunia dengan sekali kerlingannya. Aku tak peduli, entah namamu berarti malam atau siang yang benderang, kau tetaplah malam yang kelam bagiku.
Kau mungkin melati di musim semi, sedangkan aku padang rumput di musim gugur. Kita berbeda. Kau mungkin jelita, dan aku buruk rupa. Entahlah. Bagaimana aku dapat membayangkan wajahmu, sedangkan mengetahui bagaimana rupaku saja aku tak mampu.
Bukan kebetulan, Layla. Ar-Rahmaan memperjumpakan kita dengan jalan yang tak disangka-sangka. Kau yang meminta guru ngajiku untuk dikenalkan denganku. Bagaimanalah aku tak merasa haru? Kau yang lulusan universitas terbaik di negeri ini meminta bersanding dengan aku yang hanya tamatan Madrasah Aliyah. Dan itu hebatmu, Layla. Tak memiliki akses untuk melihat dunia bukan berarti menghalangimu untuk melihat cakrawala keilmuan yang membentang luas. 
Dan di hari itu, di hari pernikahan kita, kuucap janji sakral yang menggetarkan gunung-gunung dan semesta. Maafkan jika aku harus mengulanginya beberapa kali dengan suara yang gemetar. Bukan main-main, perjanjian dengan Tuhan. Jika kelak aku tak bisa menjadi qawwam yang baik bagimu, berdosalah aku.
Dengan gugup dan agak ragu, kuraba kepalamu, lantas kuselipkan bunga yang aku tak tahu warnanya itu ke lipatan kerudungmu. Aku hanya tahu ia harum semerbak. Semoga membuatmu semakin cantik.
Namamu adalah malam. Namun, kelak kita akan bersama-sama menyalakan pelita. Percayalah!

Layla:
Cinta itu buta! Ya benar, cinta itu buta! Namun apakah dengan cara ini aku harus mencinta?
Bukankah Tuhan menciptakan segalanya berpasangan? Lelaki-perempuan, jantan-betina, surga-neraka, siang-malam, gelap-terang, baik-buruk, jelek-rupawan, dan seterusnya. Lantas, mengapa aku harus dipasangkan denganmu? Setidaknya jika aku tidak bisa melihat, suamiku adalah penglihatan yang mampu menuntunku ke mana-mana, melayaniku mengambilkan macam-macam yang aku butuhkan.
Namun kami ternyata sama-sama dalam kegelapan. Buta. Meraba-raba. Tak paham warna-warna di dunia.
Apakah kau setampan dan secerdas Yusuf ‘alayhissalam? Sedangkan aku bukanlah Zulaikha yang cantik dan kaya-raya. Bagaimana aku dapat membayangkan wajahmu, sedangkan mengetahui bagaimana parasku saja aku tak mampu.
Masalah jodoh dan berjodoh tentu bukanlah perkara yang sederhana. Ini adalah ketentuan Yang Maha Kuasa. Allah tidak sedang mengocok lotre lantas menentukan jodoh seseorang layaknya bermain undian dalam arisan, bukan?
Senja itu, hujan menahan langkahku untuk beranjak pergi dari Masjid At-Taqwa. Guntur menggelegar di langit Yogyakarta. Pengajian sore sudah usai semenjak bermenit-menit yang lalu, namun aku belum berani pulang. Kudekap tongkatku dan kugumamkan doa-doa penenteram kegelisahan yang tiba-tiba meraja.
Ada yang sedang mendaras Quran di tengah suara berisik hujan begini, suara merdu orang itu bersaing dengan deras hujan yang jatuh ke atap masjid. Lama. Kukira ia membaca berjuz-juz, tak kunjung selesai.
Assalamu’alaykum.” Menurut pendengaranku, jelas itu suara lelaki.
Wa’alaykumussalam.”
“Masih menunggu apa di sini?”
“Masih hujan. Saya tidak bawa payung, belum berani pulang.”
“Tahu sekarang jam berapa? Sepertinya sudah hampir magrib. Atau mau sekalian salat di sini, Mbak?”
“Maaf, saya tidak bisa melihat. Saya tidak tahu ini jam berapa.”
“Oh, maafkan saya. Bagaimana jika saya minta tolong teman untuk mengantar anda pulang? Sepertinya hujannya bakal awet.”
Aku mengiyakan. Seorang perempuan paruh baya bersuara lembut yang kemudian mengantarku pulang dengan motornya bercerita bahwa ia adalah istri guru ngaji pria tadi. Ummi Yashinta, begitu ia menyuruhku untuk memanggilnya.
Aku telah jatuh hati kepadamu ketika aku sama sekali belum mengenalmu. Bahkan perihal namamu saja aku tak tahu. Aku—si buta ini—hanya tahu bahwa kau sudah sedemikian baiknya menolongku. Mencarikan seorang perempuan untuk mengantarku, sebab tentu kau ingin menjaga izzah sebagai lelaki, kita bukan mahram. Terlebih, suaramu mendaras Quran yang mirip-mirip Syekh Saad Said Al Ghamidi. Merdu sekali.
Tuhan, perempuan mana yang tidak mendambakan imam yang baik bagi dirinya? Dan perempuan mana yang tidak tertawan karena setitik perhatian dan akhlak santun yang lelaki tunjukkan?
Demikianlah kemudian lubuk hatiku memintaku untuk mengenalmu. Usiaku dua puluh enam. Jika aku tak lekas berusaha dan bersegera, lelaki baik mana yang akan bersedia menerima perempuan tunanetra ini apa adanya? Bisa-bisa aku tertakdir bersama lelaki tak baik yang bisa saja mencurangiku, toh jika ia menggandeng perempuan lain di depanku, aku tak akan tahu. Naudzubillah…
Melalui Ummi Yash—wanita paruh baya yang kau minta tolong mengantarku pulang ketika itu, kini ia kuminta tolong untuk menjadi perantaraku denganmu, untuk bertaaruf.
Sekarang, adilkah Allah? Setelah kutahu bahwa kau sama tuna-nya denganku, seolah Ia tidak mengizinkan aku untuk bersanding dengan laki-laki normal sebagai pelengkap hidupku yang tak sempurna—seakan runtuh semua pengharapanku, tertikam dalam sesal yang menyesak. Kau menyambutku dengan suka-cita. Berlapangdada atas ketunaanku, ketunaan kami.
Apalagi setelah kutahu bahwa kau hafiz semenjak setahun lalu, apa alasanku untuk menolakmu? Mungkin kau malah jauh lebih hebat daripada orang-orang normal bergelar doktor maupun profesor namun buta ayat-ayat Allah.


Yusuf:
Ini mungkin tak seberapa, namun sangat berharga. Penghasilanku sebagai guru honorer di madrasah memang tak seberapa (mungkin memang sulit dipercaya bahwa aku mampu mengajar di tengah keterbatasan), tapi lebih dari cukup untuk sekadar menghadiahimu Alquran braille sebagai mahar. Lewat itu kita bisa murajaah hafalan bergantian setiap hari. Tanpa tongkat, mungkin kita masih bisa berjalan meraba-raba. Namun, tanpa Alquran, sempurnalah kita menjadi insan buta yang tersesat di hutan belantara. Namun dengan Alquran di dada kita, kita memiliki pelita yang menyala abadi di dalam hati.
Tak perlu jeda waktu yang lama bagi Sang Maha Penggenggam Kehidupan untuk memberi kita rezeki. Betapa harunya aku ketika jundi kecil pertama kita lahir dengan tak kurang suatu apa. Sehat wal afiat, dan ia mampu menatap dunia! Kuberi nama Ainun—cahaya mata untuk kedua orang tuanya.
Bukankah Allah Maha Adil, Layla? Ketika kita dianugerahi mata yang tak bisa melihat, Dia karuniakan keturunan yang normal. Hari berbilang, bulan berganti. Kau mengajarinya mengeja kata-kata, aku mengajarinya mengaji. Setiap malam kita kisahkan kepadanya cerita nabi-nabi yang penuh hikmah dan patut diteladani.
Ah, fabiayyi alaa-i rabbikuma tukadziban?

Layla:
Cangkok kornea? Meski kau berlagak menyembunyikannya dariku, namun aku yang tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan ustaz nasional itu diam-diam mengetahui rencana indah kalian. Apakah itu membahagiakan untukmu, suamiku? Aku sungguh menghargai kebaikan ustaz yang telah mengorbankan waktunya demi mencarikan pendonor kornea untuk kita berdua. Lagipula, siapakah yang tidak ingin melihat dunia setelah sekian puluh tahun hidup dalam gulita? Hitam. Kelam. Kita tidak mengenal hijau, merah, kuning, pink, biru, ungu, abu, atau apapun itu. Hanya hitam selamanya! Aku tahu kau ingin terbebas dari semua itu, hingga kita bisa saling melihat. Kita bisa melihat rupa putri kecil kita yang selama ini hanya kita raba wajahnya, lantas kita cium ia dengan penuh cinta.
Namun apakah itu semua akan mendatangkan sejuta kebaikan untuk kita? Apakah dengan mampu melihat dunia sudah tentu lebih baik ketimbang menjadi tunanetra? Bukankah kau pernah berujar kepadaku tentang bahaya mata, suamiku. Tidak menutup kemungkinan pandangan liar itu akan kita lakukan, dan jelas kita tak ingin terlibat dalam zina mata, bukan? Maka, lebih baik urungkan sajalah niatmu menerima tawaran itu.
Aku tak peduli lagi tentang tampan atau tak tampan, rupawan atau tak rupawan. Sebab kita telah sama-sama saling melihat dengan mata hati, bahwa kau tampan dengan kesalehanmu.
Aku mencintaimu meski dalam gulita, namun bukankah kita bersama-sama menyalakan pelita? Al-Furqan tercinta yang tiap hari kita lantunkan ayat-ayatnya. Pelita yang menerangi tiap-tiap hati. Dan harapan itu selalu bersanding setiap kita menghafalkannya, harapan bahwa ia akan terterjemah dalam perilaku kita, semoga.

Yusuf:
Maafkan aku, Layla. Sungguh, maafkan aku. Ketergesaanku telah mengaburkan nuraniku untuk tak gegabah menerima tawaran itu.
Aku juga tak peduli lagi tentang cantik atau tidak cantik, jelita atau tak jelita. Sebab kita telah sama-sama saling melihat dengan mata hati, bahwa kau jelita dengan salehahmu.
Sejenak kemudian, aku tersadar. Mengapa harus mengingkari nikmat terindah yang pernah diberikan-Nya? Sedangkan tak semua manusia memiliki hal ini, nikmat untuk berada dalam gulita. Sebab di sanalah kita akan semakin mencintai cahaya, penerang, pelita yang menuntun langkah-langkah kita, menuju jannah-Nya.


[PS: Cerpen ini ada dalam buku kompilasi kisah inspiratif sebuah persembahan cinta Mahar Cinta untuk Adinda. Berhubung bukunya tidak dipublikasikan secara luas, cerpen ini saya tulis ulang di blog ini. Dilarang meng-copy paste, mengklaim tulisan ini, atau membagikannya tanpa sumber yang asli atau tanpa seizin penulis. Terima kasih.]

Tidak ada komentar: