Senin, 24 Agustus 2015

Catatan untuk Sang Mawar #2






When you are standing in front of the mirror
Look at your face, your hair and your body
Think that you are ugly and feel like terror
Contemplate that you have made from an error
Your self reflection makes you feel giddy
When you are standing in front of the mirror
(Ugly-Novita T. L.)

Nukilan villanelle (salah satu jenis puisi Inggris) gubahan salah satu teman saya bertitel Ugly (Jelek) tersebut lantas mengingatkan saya akan beberapa iklan yang menjamur bak cendawan di negeri ini. Mulai dari alat peninggi badan, pelangsing tubuh, produk perawatan dan pemutih kulit yang segambreng-gambreng banyaknya, hingga perawatan rambut. Berbagai macam salon dan rumah cantik dengan pelbagai fasilitas yang ditawarkannya juga sudah tak terhitung jumlahnya, seakan-akan kata “cantik” adalah kebutuhan primer bagi semua kaum wanita. Kadang, tanpa disadari, citra “cantik” yang dibangun oleh iklan dan salon di negeri ini tak lepas dari: tinggi, putih, langsing. Sedangkan jelek adalah: pendek, hitam, gemuk. Setidaknya, begitulah bayangan diri yang muncul ketika si tokoh dalam puisi tersebut menghadap cermin, hingga ia merasa terteror oleh bayangannya sendiri, dia berpikir betapa buruk wajahnya, lantas merasa putus asa.

Merawat diri demi kecantikan tentu bukanlah sesuatu yang dilarang, sepanjang itu baik bagi perempuan itu sendiri dan tidak berbahaya bagi dirinya. Penampilan yang bersih dan cantik tentu akan menumbuhkan rasa percaya diri. Di samping itu, merawat diri merupakan salah satu bentuk syukur kita terhadap karunia-Nya. Namun, tak sedikit pula kini, anugerah Allah berupa paras yang rupawan menjadikan banyak perempuan bak reinkarnasi Narcissus masa kini. Bedanya, Narcissus dalam kisah itu seorang lelaki. Konon, setiap hari ia berlutut di tepian telaga untuk berkaca, mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Maka, di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga suatu hari dia jatuh dan tenggelam.[1]

“Setiap kita memiliki kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya,” ujar Ustaz Salim A. Fillah. “Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.”

Baik perempuan dalam nukilan puisi di atas maupun Narcissus merupakan contoh manusia yang cenderung mendefinisikan cantik atau tampan sebagai rupa secara fisik, yang terlihat nyata dan bisa dijamah oleh indera penglihatan manusia. Maka, begitu pulalah definisi cantik yang hingar-bingar di masa sekarang. Tak heran, ia pun menjadi obyek komoditas yang diperjual-belikan, bahkan bermetamorfosis menjadi berhala yang tak kasat mata.

Paras yang menawan. Kita mengerahkan segala daya agar agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna. Manusia jelita bak bidadari yang diutus ke bumi. Bukankah kini tak perlu bersusah payah menjadi terkenal di televisi demi mendapatkan pujian serta pengakuan dari penduduk bumi? Sejuta sarana dunia modern tak ubahnya telaga tempat Narcissus berkaca setiap hari, atau cermin ajaib milik ibu tiri Putri Salju. Di sanalah letak orang-orang zaman ini memajang wajahnya yang indah sempurna. Dari balik layar, orang lain yang menjadi pemirsanya menyampaikan kekaguman mereka melalui tombol berjudul “suka”. Paras menawan perempuan. Aduhai, siapa lelaki yang tidak tertawan kemudian? Pujian datang bertubi-tubi, seraya nama-Nya tak lupa disebut; “Masya Allah… cantik sekali ukhti ini.” Batin yang melihat berseloroh, tak ada yang salah mengagumi ciptaan Allah. Maka, diteruskannya kekagumannya yang sembarangan dengan memantau foto-foto sang perempuan menawan dari hari ke hari. Lantas pujian yang mengalir itu, bagai ramuan yang menerbangkan sang perempuan ke awang-awang. Membuatnya alpa akan satu hal yang luput digerus bangga pada diri sendiri.

“Tahu nggak Dik, cuma lihat tangan kita aja, kadang-kadang cowok tuh bisa terpesona,” ucapnya suatu kali, bertahun-tahun silam. Saya paham, itulah alasannya para muslimah itu memakai manset lengan, meski agak ribet, supaya pergelangan tangannya tertutup rapi. Satu kebiasaan kecil yang ketika itu mulai saya terapkan.

“Duh-duh, mbak-mbak cantik nan salehah, istikamah itu memang nggak gampang ya.” Saya temukan komentar beraroma sindiran itu di foto yang saya unggah ke media sosial beberapa menit sebelumnya. Foto kami—para perempuan (yang notabene berkerudung panjang) usai berkegiatan. Beliau memang agak strict dengan perkara yang saya anggap sepele itu. Baginya, menampilkan banyak foto diri di dunia maya bukanlah hobi yang pantas dilakukan oleh seorang muslimah.

“Bagaimana jika banyak ikhwan melihat fotomu, lantas mereka jadi merasa gimanaaa gitu? Kamu muslimah yang sudah seharusnya paham menjaga diri, bukan hanya sebatas menutup aurat secara syar’i. Setiap kali rapat, bukankah kalian sudah belajar menjaga dengan memakai hijab pembatas demi menjaga pandangan? Mengapa di jagad maya justru tak sungkan kau perlihatkan paras jelitamu yang bisa bebas mereka pandangi setiap waktu? Kau tidak takut jika timbul sesuatu?” Hati nurani saya berontak suatu hari. Timbul sesuatu?

“Setahuku, nggak ada cowok normal yang nggak pernah terkontaminasi hal-hal berbau porno. Paling nggak, nonton yang seperti itu. Sealim apapun, ikhwan sekalipun. Menurut pengamatanku sih. Jadi, zaman sekarang ini susah sekali menahan pandangan. Banyak godaan di sepanjang jalan,” kali ini pengakuan langsung dari salah satu teman laki-laki. Saya jadi mengerti, betapa tak mudahnya bagi mereka meredam gejolak, terlebih bagi yang belum menikah. Wallahua’lam. Benar atau tidaknya hanya Allah yang Maha Tahu. Namun, tak ada salahnya itu menjadi sebuah sentilan bagi kita—kaum perempuan untuk lebih berhati-hati dan menjaga, tak terkecuali dalam perkara yang nampaknya remeh-temeh.

Bukan salah mata lelaki yang memandang, sebab kitalah—perempuan yang menyajikan, kitalah yang memasang umpan. Sementara kita tidak pernah tahu bagaimana alam pikiran dan imajinasi mereka bekerja. Ah, tentu saja kita tidak sampai hati membayangkan yang bukan-bukan, terlalu mengerikan. Selanjutnya, jika sampai terjadi zina mata, hati dan pikiran, mereka jugakah yang patut dipersalahkan? Oh, jangan-jangan semua dosa mereka bermuara kepada kita? Kalikan saja jumlah orang yang memandang dengan dosa mereka, dan itu semua ditimpakan kepada kita—sang penebar umpan. Tak terhitung. Sementara amalan baik yang kita punya sama sekali belum cukup menjadi penolong untuk meraih surga-Nya.

Maka, cukuplah keindahan yang kita punya tidak dijadikan obyek pemuas mata mereka yang bukan siapa-siapa. Apalah artinya penilaian dan pujian manusia tentang tampilan muka, sementara Baginda Rasulullah saw bersabda jika wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari bermata jeli karena salat, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Ah, hadis ini mungkin sudah sangat akrab sekali di telinga kita.

Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Ummu Salamah ra, bahwa beliau berkata: Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukan bidadari bermata jeli?”
Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang Nampak dari apa yang tidak terlihat.”
Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?”
Beliau menjawab, “Karena salat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami rida dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”

Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan sebagai mawar, maka ia yang terjaga bak mawar di tepi jurang nan curam, bukan mawar di tengah-tengah taman nan jamak dan pasaran. Ia menjaga dirinya dengan penuh kehati-hatian hingga ada tangan pemberani yang kelak bersedia menempuh bahaya demi memetiknya: yang bersamanya nanti ia temukan cinta yang sesungguhnya, yang dengan memandang kecantikannya menjadi lading pahala, bukan fitnah penuh dosa.

Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan layaknya mutiara, maka ia yang terjaga tersimpan dalam cangkang kerang di dasar lautan, hingga ada penyelam tangguh yang mengambilnya.

Selanjutnya, adalah pilihan masing-masing kita untuk menjadi yang mana.

“Di dalam surga itu terdapat bidadari yang sopan menundukkan pandangannya. Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka. Tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahmaan 56)

“Laksana mutiara yang tersimpan dengan baik.” (Al-Waqiah 23)

“Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan baik.” (Ash-Shaffat 49)











Judul awal tulisan ini adalah “Beautiful, Am I?”, kemudian diubah setelah ditimbang-timbang lagi. Telah direncanakan untuk ditulis sejak bertahun-tahun yang lalu, namun gairah menyelesaikannya baru muncul beberapa pekan yang lalu.
#Catatanuntukdiri
Semoga selalu terlantun istighfar

Referensi:

A.Fillah, Salim. Agar Bidadari Cemburu Padamu. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.
------------------. Dalam Dekapan Ukhuwah. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.



[1] Seperti yang dikisahkan Ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya: Dalam Dekapan Ukhuwah (Pro-U Media, 2010)

Tidak ada komentar: